Varietas Jeruk Keprok Grabag (Red.Ngablak) hampir punah
Carik Pandean dengan tanaman jeruk di samping rumah
Jeruk Keprok yang biasa dikenal dengan nama jeruk keprok grabag
sebenarnya dari Ngablak, bukan dari grabag. Awalnya keprok dari Ngablak
banyak dijual di Grabag pada dekade 1960-an. Buah itu kemudian dijual ke luar
daerah. Karena cita rasanya spesifik, banyak orang yang suka orang. Para petani Ngablak dulu berjalan ke
Pasar Grabag untuk menjual jeruk keprok. Pasar itu menjadi pusat keramaian di
lereng Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo bagian barat. Para pedagang memborong
jeruk keprok dari Kota Magelang, kemudian menjualnya di sekitar alun-alun dan
Pasar Gede Rejowinangun.
Sebagian besar pembelinya
adalah warga Tionghoa. Mereka menjadi pelanggan utama jeruk keprok yang rasanya
manis segar itu. Kepada penjual, mereka selalu menanyakan, "Mana jeruk
keprok dari Grabag?" "Sejak itu jeruk keprok dari wilayah Ngablak
dikenal sebagai jeruk keprok grabag," Karena cita rasanya yang spesifik,
setiap Agustus jeruk keprok grabag selalu disertakan dalam pameran buah tropik
di Istana Negara. Keunggulan buah
itu karena mudah dikupas kulitnya, rasanya manis dan segar, bijinya sedikit dan
aromanya khas. Jeruk jenis ini berjaya pada 1960-1979. Populasinya lebih dari
75.000 batang tersebar di Kecamatan Ngablak, sebagian Pakis dan Sawangan.
Jumlah produksi dan harganya pun baik. Bahkan petani yang memiliki pohon jeruk
keprok lima batang, saat itu bisa membeli sedikitnya satu ekor sapi setiap
tahun. Jeruk keprok yang dibudidayakan di Ngablak cukup unik. Karena tidak
ditanam di kebun tetapi di pekarangan rumah penduduk. Hampir setiap halaman
rumah penduduk di Desa Girirejo, Bandungrejo, Madyogondo, Jogoyasan, Pandean,
Keditan, Pagergunung dan Seloprojo, Kecamatan Ngablak dihiasi pohon jeruk
keprok. Jadi, wisata agro bisa dilakukan ke tujuh desa itu. Jeruk ini kalau
ditanam di sawah/perkebunan dengan sistem tumpang sari hasilnya malah jelek.
Tanaman jeruk keprok tumbuh baik di lahan pekarangan
Untuk pemupukannya tidak
perlu pencangkulan di bawah pohon karena bisa merusak perakaran yang akibatnya
malah menurunkan produksi. Pemupukan dilakukan dengan cara pupuk kandang
ditempatkan di dalam karung dan diletakkan di bawah pohon kemudian secara
berkala disiram. Dengan demikian, air yang mengandung pupuk itu akan terserap
ke dalam tanah. Jumlah pohon
jeruk keprok sekarang tinggal 3.000-an batang yang produktif. Setiap pohon yang
berumur 20-25 tahun mampu berbuah rata-rata dua kuintal. Untuk pohon yang masih
umur tiga-lima tahun menghasilkan 50 kg/pohon.
Harga jeruk keprok kualitas
AB pada tingkat petani Rp 10.000 - Rp 12.000/kg dengan isi rata-rata delapan
butir/kilo. Sementara itu, untuk harga ijon oleh tengkulak Rp 4.000 dan yang
sudah matang Rp 8.000/kg. di Desa Bandungrejo ada dua pohon jeruk keprok yang
laku Rp 1,25 juta dan saat ini belum dipetik. Panen raya biasanya terjadi pada
Juli-Agustus. Namun karena sampai sekarang masih sering turun hujan, panen
tahun ini menurun hanya 75%. Pembeli jeruk keprok yang datang ke wilayah
Ngablak pada umumnya dari Solo, Yogjakarta, Semarang, Magelang, dan para
pedagang dari Pasar Grabag.
Jeruk keprok Ngablak memang salah satu varietas yang langka.
Karena itu, pemerintah berusaha menyelamatkan induk jeruk keprok Ngablak yang
bebas virus di Kebun Blok Pondasi Mata Tempel (BPMT) milik pemerintah di
Tawangmangu dan Salaman.
Pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri membantu 5.000
bibit jeruk keprok Ngablak hasil okulasi. Sementara itu, petani di wilayah
Ngablak, Kabupaten Magelang, masih dengan cara cangkokan untuk memperbanyaknya.
Pencangkokan dianggap bisa membuat pohon lebih cepat berbuah. Keaslian jeruk keprok
grabagnya juga terjamin, Tiap tahun jeruk keprok Ngablak disertakan dalam Gelar
Buah Nusantara di Istana Negara Jakarta menjelang peringatan HUT Kemerdekaan
RI. Pada tahun 2005, kontingen yang dipilih adalah jeruk keprok yang
dibudidayakan Sutarji. Adapun jeruk keprok hasil cangkokan yang produktif di
Kecamatan Ngablak, lebih dari 500 batang, tersebar di wilayah Bandungrejo,
Girirejo, Pandean dan sekitarnya. Sedangkan
jeruk keprok yang dikembangkan dengan bibit okulasi pada tahun 2004 hingga kini
masih dalam pertumbuhan.
Tampaknya harapan untuk menjadikan jeruk keprok Ngablak
sebagai komoditas usaha tani yang menguntungkan tidak berlebihan. Pada musim
panen ini, rata-rata tiap pohon dapat menghasilkan sekitar 75 kg. Dengan harga
minimal Rp 8.000/kg, petani bisa memperoleh Rp 562.500/pohon. Bahkan, di Desa
Bandungrejo, ada satu pohon yang buahnya laku Rp 900.000. Bayangkan, jika tiap
petani memiliki 10-20 pohon produktif, pada panen Juli-Agustus tentu bisa
mendapatkan penghasilan yang signifikan. Pada panen November-Desember, harga
jeruk keprok memang agak turun. Sebab, bersamaan dengan panenan buah lain.
Tetapi petani jeruk keprok masih bisa menikmati keuntungan.
Namun mulai tahun 1980-an,
saat populasi tanaman mendekati 100.000 pohon, muncul persoalan, yaitu penyakit
CVPD. Saat itu dikelompokkan sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus.
Diduga penyakit yang menular lewat lalat itu berkembang pesat, karena
penggunaan pestisida pada tanaman jeruk sayuran di daerah tersebut. Akibat
penyakit itu, tanaman jeruk menjadi berkurang, bahkan nyaris punah. Penyakit
akibat bakteri citrus vein phloem
degeneration, disebut juga penyakit huanglongbing, yang masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1960-an nyaris memusnahkan plasma nutfah jeruk keprok (Citrus
reticulata). Selain menyerang tanaman jeruk di Indonesia, bakteri ini menyerang
tanaman jeruk di kawasan Asia, Afrika, hingga sebagian Amerika Serikat. Hal itu dinyatakan Guru Besar Ilmu Patologi
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Subandiyah, Senin
(11/4) di Yogyakarta. ”Berdasarkan pengamatan kami, saat ini beberapa jenis
jeruk keprok, seperti jeruk keprok garut, jeruk keprok tawangmangu, dan jeruk
keprok grabag sangat sulit ditemui di lapangan,” ucapnya. Menurut Siti, Balai Penelitian Tanaman Jeruk
di Malang pernah membersihkan jeruk keprok dari bakteri citrus vein phloem
degeneration (CVPD). Namun, begitu jeruk ditanam, bakteri kembali menyerang.
Hingga sekarang belum ditemukan teknologi yang mampu memperkuat ketahanan
tanaman jeruk keprok pada bakteri CVPD. Guru
Besar Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM Susamto
Somowiyarjo membenarkan hancurnya plasma nutfah jeruk keprok di Indonesia.
”Jeruk keprok yang manis kini tinggal kenangan. Kalaupun ada, hanya tanaman
jeruk yang hambar buahnya,” kata dia. Tahun 1960 serangan bakteri CVPD menyebar
di Asia dan Afrika. Tahun 2004 bakteri ini menyerang benua Amerika, seperti
Brasil. Tahun 2005 serangga pembawa bakteri CVPD juga ditemukan di Amerika
Serikat, seperti di Florida, California, dan Texas. Menurut Siti, pemanasan global
menjadi salah satu faktor merebaknya penyakit yang menyebabkan daun menjadi
kuning dan pohon mengerdil. Bakteri CVPD yang awalnya hanya berkembang di
daerah panas menyebar ke wilayah yang lebih dingin karena suhu udara di daerah
dingin semakin hangat. Proses mobilisasi yang semakin mudah dan cepat turut
memperparah penyebaran bakteri CVPD. Apalagi, proses penyaringan barang-barang
impor ke Indonesia terlampau mudah. Begitu bakteri patogen masuk dan menyebar
ke lingkungan, seumur hidup akan sulit diatasi. Inokulum atau sumber penyakit
dari bakteri patogen telah menyebar ke tanah, gulma, serangga, hingga tanaman
yang ada,” kata dia. Serangan bakteri CVPD pada jeruk keprok mirip merebaknya
virus kuning pada cabai yang menyerang hampir seluruh daerah. Virus kuning
diperkirakan berasal dari Thailand yang terbawa masuk ke Indonesia lewat proses
impor. Apabila karantina barang-barang dari luar negeri tak diperketat,
masuknya bakteri maupun virus dari luar akan menjadi ancaman baru, yaitu
bioterorisme.
Saatnya kita lestarikan PRIMADONA Ngablak, PRIMADONA Magelang, PRIMADONA Jawa Tengah.
Jangan biarkan Komoditas unggulan ini punah.
ajibbbbb...kalo punya 60 pohon j sekali jual bisa bwt naik haji...wkkkkkkk
BalasHapus@kang widi: benullll......ehhh betullll tapi sayang keberadaan jeruk keprok hampir punah digasak virus CVPD....hiksss.
BalasHapus